Bangunan Suci di Jatukrama

“Siang… Ice Caffe Latte satu. Satu lagi Ice Hazelnut Blended ya. Take away.” Perempuan muda di hadapanku ini cantik sekali. Kulit wajahnya bersih mulus, tanpa noda. Bahkan jerawat kecil pun tidak ada. Bibirnya merah jambu tidak terlalu tebal, sedang. Pikiranku tidak bisa berhenti memperhatikan makhluk cantik di hadapanku ini. Pakaiannya manis, warna putih tipis. Aku tidak bisa lihat bawahan apa yang ia gunakan tanpa terlihat memperhatikannya dengan cara sangat mencolok.

“Atas nama siapa mbak?”

“Mandira.” Bangunan suci. Pikiranku dengan segera mengartikan namanya. Ya, Mandira berarti Bangunan Suci dalam bahasa Sansekerta. Aku memang menyukai kisah-kisah dan cerita mulai dari Pandawa hingga Mahabrata. Menurun dari Ibu dan Ayahku sepertinya.

Pertama kali aku mau bekerja di sini, itu pun karena Kedai Kopi ini bernama Jatukrama. Pemilik kedai bernuansa kayu dan air ini adalah pasangan suami-istri muda. Di mana mereka tidak mau dibilang terikat pernikahan, tapi terikat Jatukrama, yang berarti jodoh atau pasangan hidup. Mereka lebih suka disebut pasangan hidup daripada suami istri pada umumnya. Aku tidak mau bertanya lebih lanjut lagi, yang jelas sejak pertama aku menginjakkan kaki di beranda kedai ini. Aku jatuh cinta. Seperti kini aku menghadapi Mandira.

Seratus persen bahkan lebih, aku menjamin bahwa aku adalah pekerja yang professional, tidak terlibat perasaan dengan tamu-tamu yang datang, secantik apapun mereka. Bahkan ketika Pevita Pearce sempat mampir ke sini saja, aku bergeming meski kakiku lemas.Tapi kali ini, ingin rasanya sekali saja aku lancang.

“Baik, Ibu Mandira. Tunggu sebentar ya.”

Kening mulus di hadapanku ini mengrenyit. Alis matanya bertaut, senyumnya mengembang kecil.

“Kok, Ibu sih? Mandira aja.”

Aku tersenyum, sengaja. Sebenarnya standard di kedai ini memang memanggil santai saja. Biasanya yang datang seumuranku, tidak sampai yang empat puluh lima ke atas. Aku memang mengulur waktu agar berbincang dengannya sedikit lebih lama.

“Baiklah, Mandira…” Aku rapal namanya perlahan. “Bisa ditunggu sebentar nanti di panggil.”Lanjutku, Mandira tersenyum. Kalau tidak salah lihat tadi pipinya tersipu. Atau mungkin hanya imajinasiku.

Aku berbalik ke belakang bar.

“Bangke mata lo, Nar!” Desis Saka, teman satu shiftku hari ini. Saka laki-laki, tingginya hampir sama dengan aku. Kulitnya cokelat muda, tidak putih, tidak juga hitam. Hampir sama denganku, kami sering dibilang anak kembar terpisah ibu, terlebih lagi karena alis mata kami sama-sama agak tebal. Bedanya, rambutku agak gondrong dan skin bawah sedangkan dia potong pendek rapi.

Aku tersenyum-senyum saja mendengar komentar Saka. Maaf-maaf saja, aku masih laki-laki biasa.Dan Mandira salah satu wanita yang jauh dari biasa.

“Berisik lo, Ka.” Aku cengengesan.

“Caffe Latte sama Hazelnut Blended satu ya.” Kataku mengulangi pesanan Mandira.

Saka mencibir,”Iye, iye. Gue udah denger tadi.” Saka berlalu ke belakang untuk meracik pesanan Mandira. Aku kembali ke belakang coffee bar. Bersembunyi di balik dua coffee maker besar. Apalagi kalau bukan memandanginya dari jauh?

Bangunan suci terduduk manis di sudut kedai kopi. Ia menunduk, tangannya sibuk dengan gadget di kedua tangannya. Anak-anak rambutnya berjatuhan di dekat pelipis, manis. Aku mendadak jadi pujangga basi yang sajaknya miskin diksi, habis sudah menguap segala aksara penuh rayu yang mungkin bisa aku lakukan untuk membuatnya bertekuk lutut padaku.
Aku berharap Saka membuat kopi lebih lama dari biasanya, semoga saja mesinnya rusak. Bisikku busuk.

Mandira mengangkat kepalanya kemudian menoleh ke arahku. Ia tersenyum, manik mataku terjerat miliknya, aku tersenyum kembali padanya, malu. Tertangkap basah aku jadi pencuri sosoknya untuk aku simpan di dalam kepala. Aku mengalihkan pandangan ke arah mesin kasir di belakang bar. Tidak ada yang menarik dari itu sebenarnya, hanya mesin kasir hitam biasa tempatku atau Saka menyimpan uang dari pembeli. Hanya saja siang ini mesin kasir itu mendadak sangat menarik hingga aku baru menyadari bahwa ada goresan di pinggir tubuhnya yang hitam.

Kegores apaan ya?

Pertanyaan mendadak muncul di dalam kepalaku, sejenak mengalihkan malu tertangkap basah menatapi Mandira dari balik coffee maker. Mendadak sebuah tangan mampir di pundakku, aku menoleh.

“Udah, Sak? Cepet amat, lamaan lagi kek lo bikinnya. Payah.” Aku berkata setengah mengela nafas kecewa. Artinya sebentar lagi dua kopi ini mampir di tangan Mandira dan ia akan segera keluar dari kedai ini tanpa aku berkesempatan bertemu dengannya lagi. Siang ini adalah sebuah kesempatan, pertemuan dan perpisahan. Di mana semua akhir akan mungkin terjadi, yah, kecuali ia akan menyelipkan nomer ponselnya ketika aku memanggil namanya kemudian memberikan pesanannya ini.

Saka menoyor lenganku,”Orang geblek lo. Kalo kelamaan gue yang kena marah Mas Sasi kalo nggak Mbak Mura. Si kampret. Udah sana kasih.”

Dua buah kopi di dalam kertas karton berlogo Jatukrama sudah berpindah dari tangan Saka ke dalam tanganku. Aku merasakan hangat menjalar ke telapak tanganku, mengalir ke dada, memejamkan mataku sejenak. Di kepalaku, ini tangan putih miliknya yang aku genggam kala hujan lebat riuh di luar dan kami menonton pertunjukan basah semesta di balik jendela. Berbincang sembari saling curi-curi kecup di mata, tubuh terbalut selimut dan ia bersender di dada. Membicarakan perihal apa saja bahkan aku akan bercerita soal goresan di mesin kasir Jatukrama.

“Nar! Ngantuk?” Aku membuka mata, aku lihat Mas Sasi, bosku sudah muncul dari sebelah kiri bar. Dua kali aku tertangkap basah, kini lebih parah. Bosku sendiri yang memergokiku sedang memejamkan mata sambil berdiri dan memegang dua karton kopi. Mungkin ia pikir aku gila, aku harap tadi aku tidak sembari senyam-senyum sendiri saja. Kalau iya, habis aku kalau nanti malam minum-minum aku jadi bahan tertawaan.

“Agak pening barusan, Mas. Santai.” Kilahku.

“Oh, istirahat lo abis ini. Awas kalo pingsan, gue buang lo.” Mas Sasi bermimik sok serius, kemudian ia masuk ke dalam bar. Ia menepuk pundakku,”Gue ke atas dulu ya.”

Aku tertawa kecil saja,”Siap, Mas!”

Kedai kopi Jatukrama punya dua lantai, lantai satu berisi meja-meja serta kursi kayu dan sofa-sofa nyaman. Nuansa rumah sangat kental di lantai satu. Banyak orang, muda-mudi menghabiskan waktunya di sini, sendiri atau berdua bahkan berlima. Berbicara empat mata, membaca, pun tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk dengan cangkir kopi miliknya sendiri, diam dan melihat ke luar, melamun. Atau tangan-tangan yang sibuk menarikan jemarinya di atas keyboard laptop dengan mata menatap layar persegi terkadang melirik buku catatan yang tergeletak di sisi.

Sedangkan lantai dua kedai ini adalah galeri serta perpustakaan kecil. Galeri penggalan prosa dan puisi yang di abadikan dalam sebuah mozaik berpigura, atau sarana seni apa saja. Beberapa gambar hasil para seniman yang dengan suka rela memajang hasil karyanya di sini juga ada. Mas Sasi adalah seorang fotografer sekaligus videografer dan penulis. Beberapa karyanya ikut terpampang di galeri Jatukrama. Sedangkan istrinya, Mbak Mura adalah seorang penulis. Beberapa penggal tulisan Mbak Mura di abadikan oleh Mas Sasi dengan cara digabungkan dengan foto yang ia ambil. Bagiku, mereka berdua benar-benar dua sosok muda yang aku kagumi. Tidak pernah sekalipun mereka menanggap aku, kami, hanya sebagai karyawan yang mereka gaji dan bekerja dengan mereka. Mbak Mura dan Mas Sasi mampu membuat kami mencintai tempat ini selayaknya rumah sendiri hingga kami pun secara tidak sadar menjalankan apa yang sudah menjadi tugas kami dengan penuh suka, tanpa paksa.

Ada satu ruangan di lantai dua, di mana kerap Mas Sasi gunakan untuk memutar film-film lama. Ruangan itu tidak terlalu besar, tanpa kursi, hanya bantal-bantal beluduru warna gelap bertebaran di lantai berkarpet merah tua. Ruangan itu lengkap dengan pemutar film jaman dulu. Iya aku tidak tahu apa namanya. Yang jelas aku paling suka ruangan itu, di dinding kayu jati berpernis cokelat tua digantungkan macam-macam poster film jaman dulu. Serta iklan-iklan luar negeri semacam Kellog’s dan keluarganya. Aku ingin mengajak Mandira ke ruangan itu.

Tidak melakukan apa-apa, cukup diam saja. Saling bercengkrama dengan isi kepala masing-masing, bagus-bagus kalau kami sekalian bertatapan mata. Jadi biarkan mata kami yang berbincang saja.

Sikutan keras menjalarkan sakit dengan segera ke otakku. Aku mendelik.

“Woi! Buruan di kasih kali! Keburu cair esnya!” Ternyata Saka yang menyikut rusuk kananku.

“Lo ye, nggak seneng banget temennya ngayal dikit.” Aku menggerutu, kemudian menghampiri mic kecil di dekat meja kasir.

Sebelum aku menekan tombol on pada mic, aku menghela nafas berat seolah seperti residivis kena pidana mati pada detik ke tiga puluh lima.

“Mandira… Mandira…” Aku merapalkan namanya serupa doa, lembut dan tanpa ku sadari. Suaraku seperti orang putus asa yang meminta kekasihnya untuk tetap tinggal dan tidak ke mana-mana.

Mandira menoleh ke arahku, ia tersenyum kemudian bangkit. Mandira tidak terlalu tinggi, tubuhnya ramping cenderung mungil. Aku rasa tubuhnya pas berada dalam pelukanku. Beberapa langkah dan ia tiba di hadapanku.

“Maaf, ya Mbak kalau agak lama.” Kataku sambil menyerahkan dua karton kopi di hadapan Mandira. Matanya bulat dan bening, seperti telaga bagi jiwanya. Kalau aku musafir, matanya mungkin adalah oase, dan aku? Sedang berfatamorgana mereguk apapun dari dalamnya.

“Iya, nggak apa-apa.”Senyum tersungging di bibir dan matanya.

“Ada lagi yang bisa di bantu, Mbak?” Aku berusaha untuk tidak nekat menyebrangi meja dan membisikkan ke telinga yang mengintip malu dari balik rambutnya itu bahwa dia ialah bangunan suci paling indah yang pernah aku lihat meski berkali-kali wanita datang ke kedai ini silih berganti.

“Nggak, ini aja. Makasih ya, Mbak.” Mandira berlalu, meninggalkan senyumnya terserak di meja di hadapanku.

Sudah saja, aku memandangi punggungnya menjauh dariku, memperhatikan bagaimana rambutnya menggelayut manja terurai dari bahu. Lekukannya seperti sungai yang menggodaku untuk hanyut dan kemudian mati di situ. Ia mendorong pintu. Lalu hilang.

Bangunan suciku dipugar kenyataan.

“Nar! Kinar! Lo lama-lama kesambet deh asli kalo bengong mulu. Makan siang yok!” Saka mendorong tubuhku ke belakang.Di kepalaku masih teronggok puing-puing Mandira dan sejumput rumput kecewa.

Mengapa ia tahu aku wanita?

4 thoughts on “Bangunan Suci di Jatukrama

Leave a reply to Soloist Danseuse Cancel reply